Sunday, November 3, 2024

Colorism in Indonesia

 Colorisme merupakan salah satu bentuk diskriminasi terhadap warna kulit, yang kerap terjadi di seluruh dunia. berbeda dengan rasisme, colorisme adalah bentuk diskriminasi akan warna kulit yang berbeda terhadap orang lain yang berada di kelompok etnis atau ras yang sama. biasanya yang memiliki warna kulit lebih gelap diperlakukan berbeda dengan yang memiliki warna kulit terang.

source: thewespot.com

Colorisme di Indonesia sudah ada sejak zaman dahulu, di masa kolonialisme pun sudah ada. sebab awalnya adalah datangnya bangsawan-bangsawan Eropa berkulit putih yang memberikan pemahaman terhadap orang terdahulu bahwa kulit putih, adalah orang kaya dan bangsawan, yang tidak bekerja di lapangan dan tidak selalu terkena sinar matahari. sedangkan orang yang berkulit gelap dipandang rendah karena dianggap bekerja terus menerus di lapangan dan di bawah sinar matahari sehingga membuat kulit mereka menggelap. dan memang rata-rata rakyat Indonesia memiliki kulit berwarna sawo matang, akibat iklim tropis di negara Indonesia.

Di dalam dongeng pun sering kali digambarkan bahwa sosok yang berkulit terang berkonotasi positif sedangkan sosok berkulit gelap berkonotasi negatif. sedari kecil, anak-anak pun sudah menganggap bahwa berkulit terang itu lebih baik daripada berkulit gelap, yang mana seharusnya seorang anak tidak boleh ditumbuhkan sikap diskriminasi seperti itu.

Pada saat ini pun berkulit terang menjadi standar kecantikan di Indonesia, membuat rakyatnya terobsesi akan kulit putih. sedih rasanya melihat banyak produk kecantikan di Indonesia yang melabelkan kata 'whitening' dan biasanya produk 'whitening' tersebut memiliki sangat banyak peminat yang memperlihatkan bahwa banyak warga Indonesia yang tidak mencintai warna kulitnya sendiri.

Saya pun mengalami sendiri bagaimana kehidupan sosial di Indonesia, tetap melekat standar kecantikan tersebut. padahal, sangat wajar bagi kita untuk memiliki pigmen melanin yang lebih banyak karena tinggal di negara tropis.

Pengaruh budaya luar pun berperan besar akan hal ini, seperti di Asia Timur dan Eropa dengan orang-orangnya yang terkenal berkulit terang dan putih. sehingga banyak orang-orang di Indonesia yang akan melakukan apa pun untuk memiliki kulit seperti orang-orang Asia Timur dan Eropa.

Harusnya, masyarakat Indonesia memiliki kesadaran untuk bangga dengan warna kulitnya, apa pun warna kulitnya. Indonesia adalah negara multikultural, terdapat 300 kelompok etnis, 1340 suku bangsa, dan 700 bahasa. dengan bagaimana beragamnya Indonesia ini, harusnya kita semua bisa saling menghargai dan mencintai warna kulit, apa pun warnanya, gelap, sawo matang, kuning langsat, terang, putih. Karena, pada akhirnya kita semua tetap sama dan setara, kita semua manusia.

Perang Makassar: Perlawanan Terhadap Laksamana Speelman

 Pada mulanya, disebutkan bahwa Belanda datang ke kota Makassar untuk berdagang dengan persetujuan dari Raja Gowa ke XIV I Mangarrangi Daeng Manrabia Sultan Alauddin, dengan hanya satu syarat, yaitu Belanda datang hanya untuk berdagang. Namun ternyata Belanda berambisi untuk menguasai perdagangan di Makassar. bahkan setelah Belanda mengusir bangsa Portugis dan Spanyol dari Maluku, Belanda pun menghalau perahu-perahu dagang Makassar dekat perairan Ambon, agar dapat memonopoli perdagangan rempah-rempah. Perlawanan pun dilakukan oleh rakyat Makassar sedari tahun 1660-1669.

Dalam perang Makassar yang berlangsung pada tahun 1666-1669, Sultan Hassanudin dan Rakyat Makassar melakukan perlawanan terhadap VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) yang dipimpin oleh Cornelis Speelman.

Menurut jurnal UIN Alauddin Makassar yang berjudul 'Kondisi Sosial-Politik pasca Perjanjian Bongaya 1667', perang tersebut terjadi akibat ambisi VOC yang ingin menguasai jalur perdagangan rempah rempah di wilayah timur Nusantara.


source: wikipedia
Lukisan tersebut merupakan gambaran peperangan yang terjadi antara VOC Belanda dan pasukan  Sultan Hassanudin.

Melihat penderitaan rakyatnya akibat peperangan yang terjadi, Sultan Hassanudin selaku Raja Gowa memutuskan untuk berdamai dengan pihak Belanda/VOC, beliau membuat keputusan tersebut demi rakyatnya yang begitu menderita dengan peperangan tersebut.

Pada tanggal 18 November 1667, perjanjian perdamaian antara Kerajaan Gowa dengan VOC Belanda ditandatangani disebuah desa, bagian selatan kota Makassar. Kini dikenal dengan nama Perjanjian Bongaya. namun, setelah penandatanganan tersebut, terdapat kelompok yang tidak menyetujui dan mengakui akan Perjanjian Bongaya. mereka memilih untuk terus melawan VOC Belanda.

Perang antara VOC Belanda dan Kerajaan Gowa pun akhirnya berlanjut kembali, perlawanan tersebut dipelopori oleh Karaeng Karunrung yang membenci VOC.

Pada tanggal 12 April 1668, perang Makassar pun pecah kembali, bahkan lebih besar daripada peperangan sebelum Perjanjian Bongaya. Speelman pun meminta bantuan pimpinan VOC untuk mengirimkan bala bantuan untuk melawan Sultan Hassanudin dan rakyatnya.

Pada bulan April 1669, pasukan Belanda melakukan serangan secara teratur dan berulang-ulang terhadap warga Makassar. Penyerangan VOC Belanda saat itu mendekati arah Benteng Somba Opu yang mana membuat peperangan semakin sengit dan intens.

Pada tanggal 24 Juni 1669, Belanda berhasil menaklukkan benteng utama Kerajaan Gowa, Benteng Somba Opu secara terhormat takluk setelah perjuangan perlawanan Kerajaan Gowa dengan kepemimpinan Sultan Hassanudin.

Sultan Hassanudin pun meninggal pada 12 Juni 1670, akibat penyakit yang beliau derita, penyakit plasenta, pada usia 39 tahun.

source: detiksulsel.com

Legenda Prabu Brawijaya V & Gunung Lawu

  

Prabu Brawijaya V adalah raja terakhir dari Kerajaan Majapahit, yang memerintah dari tahun 1468 hingga 1478. Ia adalah putra dari Prabu Bratanjung, ia memiliki beberapa anak, di antaranya Raden Patah, Batara Katong, Arya Damar, dan Bondan Kejawen. Ia pun menyaksikan perubahan besar Nusantara, yaitu masuknya agama Islam yang dibawa oleh para ulama dan wali.


source: asaldansejarah45.com

Di tengah konflik yang melanda kerajaannya, yaitu masa menjelang keruntuhan Kerajaan Majapahit, Prabu Brawijaya V memutuskan untuk meninggalkan tahta dan pergi ke Gunung Lawu untuk mencari ketenangan spiritual/rohani dan moksa, konsep dalam agama hindu & budhha yang berarti menghilang atau meninggal secara spiritual. 

Gunung Lawu adalah salah satu gunung suci yang terletak di perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur. Gunung Lawu memiliki tiga puncak, yaitu Hargo Dalem, Hargo Dumiling, dan Hargo Dumilah. Puncak-puncak ini diyakini tempat sakral di tanah Jawa, dan sering dikaitkan dengan legenda Prabu Brawijaya V.


source: kompas

Menurut cerita yang beredar dimasyarakat, Prabu Brawijaya V pergi ke Gunung Lawu setelah mendengar kabar bahwa Raden Patah, putranya yang seorang Muslim, sedang memimpin penyerbuan ke Majapahit, dan mendirikan kerajaan baru di Demak. Prabu Brawijaya V pun ingin meminta pertolongan dari kerajaan Bali untuk menyerang Raden Patah.

Dalam perjalanannya, ia bertemu dengan Sunan Kalijaga, yang berusaha untuk mengislamkannya juga. Sunan Kalijaga mengajaknya untuk bertapa di Gunung Lawu, dan meyakinkan beliau untuk tidak pergi ke Bali.

Prabu Brawijaya V pun melanjutkan pertapaannya di puncak Hargo Dalem, ia melakukan proses moksa disana, melepaskan diri dari ikatan dunia. Moksa Prabu Brawijaya V di Hargo Dalem merupakan akhir dari kejayaan kerajaan Majapahit dan menjadi awal perkembangan Islam di Nusantara.

Hingga kini, Hargo Dalem dianggap sebagai tempat bersemayamnya roh Prabu Brawijaya V. Dan hingga pada saat ini, tidak ada yang tau dimana menghilangnya jasad atau makam dari Prabu Brawijaya V, hal tersebut tidak pernah terpecahkan. 

Prabu Brawijaya V merupakan simbol dari peralihan zaman, dari Hindu-Buddha ke Islam, dari Majapahit ke Mataram.

sc; intisari.grid.id

Colorism in Indonesia

 Colorisme merupakan salah satu bentuk diskriminasi terhadap warna kulit, yang kerap terjadi di seluruh dunia. berbeda dengan rasisme, color...